Sore itu hari kamis gerimis. Ada yang berbeda pada suasana kali ini. Meski mendung entah mengapa terasa hangat? Aku turun dari bus, tanganku yang memegang buku ku jadikan pelindung kepala dari rintik hujan. Aku berjalan setengah berlari mencari tempat dimana hujan tak dapat membasahiku. Aku sampai di sebuah toko yang tampaknya sudah lama tak dibuka. Disana tengah ada beberapa orang yang berteduh, aku bergabung bersama mereka. Kuputuskan untuk tidak langsung pulang menunggu hingga hujan reda. Sesekali ku sapu pandanganku ke sekeliling melihat orang lalu-lalang mencari tempat perlindungan dari hujan. Tanpa sadar aku larut dalam lamunanku, ketika itu seseorang mengagetkanku.
"Hey!" sontak aku langsung memalingkan muka ke arah suara itu. Aku terkejut!
"Hallo Ros, masih ingat saya?" ia tersenyum padaku dengan lesung pipitnya yang manis. Aku terdiam mengingat-ingat.
"Arsyil ya?" jawabku masih dengan ekspresi terkejut di tambah bingung. Aku takut salah menebak.
"Iya, saya Arsyil. Ternyata kamu masih ingat dengan saya Ros. Long time no see, gimana kabar kamu?" tanyanya.
Aku tak langsung menjawab, aku perhatikan dia. Penampilannya rapi bersih, ia memakai kemeja biru tua, dasi hitam jas dan celana abu gelap. Saat pandanganku bertemu dengannya beberapa detik, ia kembali tersenyum dengan lesung pipitnya. Ya Tuhan tampan sekali!
"Hey Ros what's wrong?"
"Eh tidak," aku tergagap. "Iya lama kita tidak jumpa ya, aku alhamdulillah baik. Kamu sendiri?" lanjutku membalas senyumnya.
"Seperti yang kamu lihat, aku alhamdulillah sehat juga."
"Syukurlah. Oh ya kamu mau kemana?"
"Saya mau pulang. Kamu?"
"Sama."
Hening. Ku alihkan pandangan ke depan memandang hujan. Tak ada suara selain rintik hujan dan deru mobil di jalan tak jauh dari toko dimana aku berada. Tampaknya Arsyil melakukan hal yang sama denganku. Kami kehilangan tema pembicaraan padahal banyak yang bisa diceritakan. Tapi aku dan Arsyil bukan orang yang pandai bercerita. Entah mengapa aku selalu merasa canggung bila berbicara dengan lawan jenis terlebih pada Arsyil.
----
Aku dan Arsyil adalah teman semasa SMP. Kami tidak satu kelas, kami hanya saling mengenal satu sama lain. Arsyil bukan orang yang aktif dalam kegiatan organisasi saat SMP. Tapi dia cukup populer, dia kharismatik. Aku sering berpapasan dengannya entah saat mau pergi ke kantin, ke toliet, ke ruang guru sampai kami pernah kesiangan bersama. Kami di hukum memotong rumput karenanya. Tidak ada yang protes, karena memang kami yang salah. Dan jika pandangan kami bertemu, Arsyil selalu menyunggingkan senyum manisnya padaku. Kadang aku balas tersenyum kadang aku hanya menunduk malu.
Dari situ mulai tumbuh rasa yang tidak biasa, aku mulai menyukainya. Sekedar suka. Sempat aku bercerita pada temanku Nia tentang hal ini. Nia tak berkomentar apapun, ia faham perasaanku hanya sekedar suka. Tapi entah mengapa beberapa minggu kemudian satu sekolah sudah tahu hal itu. Bahkan sampai ke telinga Arsyil. Aku sungguh malu. Teman-teman mulai menghujatku dengar pertanyaan-pertanyaan keingintahuan mereka.
"Kamu benar suka sama Arsyil Ros? Kalian Jadian?" tanya salah satu temaku Rere saat aku dan Nia sedang di kantin.
Aku memandang Nia. Nia mengangkat bahu dan menggelengkan kepala.
"Kata siapa Re? Aku dan Arsyil tidak jadian ko," jawabku heran.
"Masa sih? Ngaku saja Ros, gak usah disembunyiin," Rere bersikeras.
"Dengar ya Re, Rosa itu tidak ada hubungan apa-apa dengan Arsyil. Kamu itu dapat gosip darimana sih?" Nia angkat bicara.
"Sudah banyak yang bilang kok, kalau Rosa dan Arsyil itu jadian," jawab Rere.
"Iya, siapa yang bilang? Lagi pula kalupun iya Rosa dan Arsyil jadian memangnya kenapa? Kamu seperti tidak ada kerjaan saja ingin tahu urusan orang lain." Nia membelaku.
"Bukannya begitu, Rosa kan tipe cewek yang pendiam dan belum pernah pacaran. Jadi kalau dia jadian dengan Arsyil yang agak playboy kan aneh," tukas Rere.
"Gini ya Re, aku tegaskan bahwa aku tidak ada hubungan apapun dengan Arsyil. Aku dan Nia mau ke kelas, selera makan kami ilang gara-gara kamu." Aku beranjak dari kantin diikuti Nia. Rere hanya memandangiku dari belakang.
Sampai di kelas aku duduk dengan perasaan kesal. Perasaan jijik tiba-tiba mengacaukanku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku berpapasan dengan Arsyil nanti? Apa aku harus mengajak ia bicara dan menjelaskan bahwa gosip ia denganku bukan aku yang buat. Tidak, biarkan saja aku tidak perlu menjelaskan. Toh memang bukan aku yang membuat gosip itu. Lagi pula aku tak punya keberanian untuk berbicara dengannya. Uh, menyebalkan! Siapa sih yang berkata tidak-tidak tentang aku dengan Arsyil? Fikiranku mulai kacau. Nia yang duduk di sebelahku tampaknya dapat membaca kekesalanku.
"Sudahlah Ros, jangan difikirkan tentang gosip itu. Toh memang kalian tidak ada hubungan apa-apa," Nia menepuk pundakku.
"Tapi aku malu Nia. Bagaimana jika nanti aku bertemu dengan Arsyil, aku takut dia berfikir yang tidak-tidak tentang aku."
"Sebenarnya aku dengar dari orang-orang bahwa Arsyil juga menyukaimu Ros," Nia menghela nafas sesaat. Aku heran tak percaya perkataannya. "Arsyil pernah bilang pada Yuda, bahwa ia ingin jadi pacar kamu. Masalahnya ia sudah punya pacar, dan pacarnya itu Devi adik kelas kita. Mereka belum lama jadian, yang aku tahu katanya Arsyil sebenarnya tidak mencintai Devi. Ia terpaksa memacari Devi atas permintaan sepupunya Dani yang sakit hati pada Devi. Dani minta Arsyil membalas sakit hatinya." Nia melanjutkan ceritanya.
Tiba-tiba aku merasa dadaku sesak, sakit. Mendengar cerita Nia membuatku sedikit cemburu. Dan rasa cemburu itu hadir dengan perasaan benci yang tiba-tiba hadir pada hatiku. Aku kecewa. Tapi aku beruntung aku tidak terlanjur mencintai Arsyil, sehingga aku tidak begitu sakit mengetahui Arsyil seorang playboy. Bukankah orang yang sudah mempunyai seorang pacar tapi ia mencintai wanita lain adalah seorang playboy? Dan Arsyil adalah orang yang seperti itu.
"Entahlah Nia, aku tidak mau tahu hal itu. Aku tidak akan memikirkannya lagi kok! Perasaan suka yang dulu ada juga sudah tidak ada. Ya, biarkan saja!" Aku tersenyum pada Nia.
"Oke, I think its be better for you Ros!" Nia balas tersenyum.
Semenjak itu perasaan suka terhadap Arsyil aku hapus. Jika aku berpapasan dengan Arsyil, aku percepat langkahku dan kupalingkan wajahku. Aku tidak ingin bertemu pandang dengannya. Aku tidak mau melihat ekspresinya, biarlah ia berpikir buruk terhadapku. Aku tak peduli. Dan itu berlanjut sampai kami lulus SMP. Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi.
----
Aku tersenyum membayangkan itu semua. Bagiku lucu sekali apa yang aku lakukan terhadap Arsyil dulu.
"Ekhem.. Kenapa senyam-senyum sendiri?" Arsyil mendekatiku.
"Ah, tidak." Aku gugup.
"Oh, by the way Ibu dosen ngajar dimana nih?"
"Dari mana kamu tahu aku seorang Dosen?"
"Tuh!" Arsyil menunjuk buku yang aku pegang, dimana ada sebuah tulisan "Dosen Pembimbing: Dra. Rosa Rahmah Putri."
"Oh, aku mengajar di Universitas Pasundan. Kamu sendiri kerja dimana?"
"Saya sekarang manager Bank, juga wirausahawan. Alhamdulillah saya sudah punya restoran sendiri."
"Oh, baguslah."
"Ros, boleh saya minta nomor handphone mu? Ada sesuatu yang penting yang ingin ku bicarakan nanti."
"Ya, tentu." Aku mengambil sebuah memo dan pulpen dari tasku, kemudian ku tuliskan beberapa angka dan memberikannya pada Arsyil.
"Terimakasih. Oh ya, aku pamit duluan, sudah ada jemputan. Kamu mau saya antar?" tawarnya.
"Ah tidak usah. Rumah ku dekat ko." Aku menolak.
"Ya sudah, aku duluan ya. Assalamualaikum."
"Walaikumusalam."
Arsyil pergi menuju sebuah mobil merci silver. Kemudian ia masuk di pintu depan sebelah kiri. Ia buka kaca mobil dan melambaikan tangannya ke arahku. Aku balas melambai tangan. Kemudian mobilnya melaju.
Sampai dirumah aku langsung mandi. Setelah itu aku istirahat di kamar. Ku buka dompetku, aku mengambil KTP. Umurku sudah 25 tahun. Sudah pantas untuk menikah. Tapi belum ada orang yang cocok. Tiba-tiba handphoneku berdering. Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Siapa ya?
"Hallo, assalamualaikum." aku mengangkat telpon.
"Walaikumussalam. Ini aku Arsyil Ros." jawab suara dari seberang sana.
"Oh, ya ada apa?"
"Ros kamu masih sendiri kan?"
"Maksud kamu?"
"Saya ingin melamarmu Ros.."
"Tapi kita," belum sempat aku berbicara Arsyil memotong.
"Percayalah Ros, kita bisa berpacaran setelah menikah nanti. Jika kamu setuju saya akan datang melamarmu malam ini juga." Suara Arsyil terdengar tegas, begitu meyakinkan.
Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku merasa yakin. Tanpa berfikir panjang lagi ku putuskan untuk menerima lamarannya. Sebuah keputusan yang tergesa-gesa memang. Tapi aku yakin.
"Baiklah, datanglah ke rumahku malam ini juga. Bicarakan pada orang tuaku mengenai niatmu itu. Kau sudah tahu dimana rumahku?"
"Baik, aku sudah tahu. Salamuaikum." Arsyil menutup telponnya begitu saja. Sementara hatiku mulai cemas dan jantungku berdebar kencang.
Malam itu benar-benar terjadi acara lamaran antara Arsyil denganku. Ke dua orang tua kami ternyata sudah saling mengenal mereka merestui hubungan kami. Meskipun mereka masih bingung dengan lamaran yang mendadak ini. Saat itu juga ditentukan tanggal pernikahan kami, dan kesepakan terjadi bahwa besok akad nikah akan dilaksanakan. Sungguh tergesa-gesa, tapi pihak Arsyil yang menginginkan aku hanya manut saja.
Setelah semuanya selesai dirundingkan, pihak Arsyil mohon pamit.
Semuanya terasa singkat, suasana rumah jadi ramai dan sibuk mempersiapkan acara akad nikah yang akan dilaksanakan sangat sederhana besok. Sungguh tak ada persiapan matang. Tapi aku bahagia. Aku tidak percaya bertemu jodoh dengan cara seperti ini. Namun Arsyil adalah pria yang shaleh aku tahu itu, ia bisa membimbingku hatiku yakin.
Saat malam tengah larut, aku shalat istikharah untuk memantapkan hatiku. Tiba-tiba usai shalat hanphoneku berdering ada sebuah pesan masuk. Dari Arsyil, aku baca.
"Yang muncul dimimpiku kemarin setelah shalat istikharah adalah kamu Ros.. Itulah yang membuat saya yakin untuk melamarmu. Saya mencintaimu karena Allah Ros.. Dan agar memantapkan hatiku, aku ingin tahu isi hatimu.."
Aku terseyum bahagia, ternyata Arsyil telah merencanakan ini semua. Segera aku membalasnya.
"Akupun mencintaimu karena Allah, yakinlah!"
Komentar
Posting Komentar