Mahkota Daun Teh

Aku berdiri di atas sebuah batu tua di tengah derasnya air terjun. Kurentangkan kedua tanganku, perlahan mataku pun kupejamkan. Saat ini aku hanya merasakan kedamaian hidup yang membuatku tak bergeming dari suara derasnya air mengalir dari arah atas kepalaku. Burung-burung berkicau di sekitarku serta gembaran alam yang begitu elok memuaskan mata ini. Kubayangkan pabila di tempat ini aku tak sendiri, ada seorang teman yang menemaniku dan ikut merasakkan kedamaian, kesejukan, juga keindahan di tempat yang jarang orang tahu akan ini.

"Tuhan, tempat ini terlalu indah untuk dinikmati seorang diri saja" sebait doa kupanjatkan riuh riang bersama nyanyian burung yang mungkin meng-amini doaku.

Perlahan ku buka mata indah ini, sayup kudengar dari kejauhan suara langkah kaki yang semakin mendekati tempat dimana aku berpijak ini, di tengah derasnya air terjun membasahi tubuh mungilku. Aku mulai ragu dan aku balikkan badan ini sontak berteriak keras,

"Haaa... siapa kamu?" mendadak seorang laki-laki yang kalau dilihat lekat-lekat seumuran denganku itu ada di depan mataku, di tengah percikan air terjun yang dingin, sedingin hatiku. Otak kecilku sengaja aku peras untuk mengingat masa lalu.

"Tidak ada seorang laki-laki pun di dalam hidupku kecuali (Alm) Ayahku" kataku dalam hati. Sebelumnya pun tak kutemukan laki-laki bujang seumuran denganku di desaku, paling hanya ada bapak-bapak atau anak kecil yang biasa bersekolah kebetulan lewat di depan rumahku. Lantas ia berkata seolah ingin mengenalkan dirinya padaku,

"Jangan takut! Aku hanya ingin berteman denganmu. Namaku Juna, nama kamu siapa?."

Aku hanya diam merenung dan di antara kebimbangan hati ini aku menerima sambutan tangan darinya lalu memperkenalkan siapa aku di depannya.

"Na.. namaku Astrid." Jawabku grogi

"Senang bertemu dengan kamu Astrid, aku baru tahu ada tempat seindah ini, apa kamu berpendapat sama denganku, Astrid...?" Tanya lelaki yang mengaku bernama Juna itu. Ketika aku memalingkan muka ia malah meraih pundakku, merangkul bahuku. Singkat saja aku langsung mengalihkan tangannya dari bahu yang lelah nan basah ini.

"Oh.. sorry..!!" jawabnya dengan logat khas anak kota.

"Ehmm.. iya memang benar katamu, ini adalah tempat terindah yang pernah kutemui dalam hidupku, tapi bagaimana kamu bisa ke tempat ini? Apa ada yang memberitahumu akses jalan kesini?" tanyaku penasaran, karena sebelumnya memang belum ada yang tahu akan keberadaan tempat ini dan tentang air terjun dengan 7 warna yang ada di depan mataku ini, hanya aku saja yang tahu dan aku pun mengunjunginya tiap hari untuk sekedar mencuci pakaian disini, sendirian.

"Aku juga sebelumnya tidak tahu, tadi lagi jalan-jalan eh, tahunya ada suara air terjun, aku cari tahu deh sumber suaranya kebetulan aku disini juga sedang liburan."

"Ooh.. begitu" jawabku datar, dan dengan nada yang tak dibuat-buat.

"Kita duduk disitu saja yuk!!" ajaknya padaku dan aku pun menurutinya untuk duduk di atas batu-batu kali yang dialiri sungai jernih dari air terjun yang tingginya kira-kira 10 meter di atas kepalaku. Duduk dan hanya duduk melempari kerikil kami disitu. Entah perassan ragu atau memang malu untuk saling memulai pembicaraan dan saling menatap. Hingga akhirnya kupandangi wajah putih dan tampannya yang bibirnya biru karena kedinginan. Aku memancingnya agar mau pulang, kulangkahkan kaki menuju keranjang berisi baju-baju yang telah kucuci sebelum dia datang mengusikku. Tapi rasanya dia malah membuat suasana sedikit berbeda. Dia membuatku selalu tersenyum ketika melihat air terjun yang ku namai curug pelangi. Ya kenapa ku namai curug pelangi? Itu karena ada tujuh undakan batu yang jika dilihat dari bawah sangatlah indah, terkadang muncul pelangi di antara curug itu, seperti biasa pelangi hanya mempunyai 7 warna bias seperti 7 undakan jumlahnya sama-sama 7. Sehingga kunamai Curug pelangi.

Di sore menjelang maghrib itu, kami berdua pulang dalam keadaan basah kuyup. Di tengah jalan berbatu juga semak semak belukar yang tinggi, di antara pepohonan itu Juna dan aku kedinginan. Semburat sinar sore mentari senja pun tak lagi menyapa dan memuaskan mata kami. Dengan nafas yang sedikit terisak-isak, aku terus menatap tingginya pegunungan nan gelap kemelut hitam beberapa meter di depan mataku. Juna pun menghentikan derap langkah kakinya.

"Astrid!! A.. aku sa.. sa .. sa..ngat kedinginan." Kata-kata seraknya membuatku meng-iba dan cepat-cepat meraih tubuhnya lalu dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki aku menggendongnya di punggung yang rapuh ini. Keranjang baju aku biarkan tertinggal di atas batu besar di antara semak-semak dekat curug pelangi. Bibirnya sangatlah biru, tubuhnya gemetaran dan dengan tanpa reaksi ia menurut saja padaku.

Lagi, ditengah jalan setapak yang akan segera mengantarku menuju rumah kami, giliran aku terjatuh tersungkur lemah tak berdaya, tulangku serasa hanyalah kawat yang dililitkan, tak sanggup menopang beban tubuhku apalagi ditambah tubuh lain lagi. Hening malam membuat suasana menjadi lebih mencekam. Saat itulah sisa-sisa tenagaku kupertaruhkan, saat nafas tak lagi dapat memasukan oksigen-oksigen dari alam ke dalam tubuhku. Kakiku benar-benar lumpuh, tak mau menapak di jalan terjal yang telah kulalui separuhnya. Aku pun lelah dan menyerah, terjatuh dengan posisi yang tak seharusnya. Kepalaku memang sedikit terbentur kerikil tapi tak apa-lah setidaknya aku masih dapat berbicara.

"Juna, maaf aku sudah tak bisa melanjutkan perjalanan ini lagi." Setegar apa pun aku mencoba agar tak ada air mata terjatuh tetapi tetap saja butiran bening ini mengalir deras seperti tanpa komando. Juna masih dalam kedaannya, ia tak mau berkata apa-apa menghadapiku. Sesaat setelah terjatuh bersamaku, kini giliran ia yang bangkit dan menggendongku, perempuan yang terus menangis sepanjang jalan karena kesakitan. Hingga ada puluhan cahaya sempor dari kerumunan orang-orang di desaku mencari-cari kami. Berulang kali namaku dan nama Juna disebut. Akhirnya kami dijemput oleh keluarga, ini semua karena salahku pulang terlalu sore karena keasyikan bermain dengan teman baru, aku tak akan mengulanginya.

Di curug pelangi kemarin dia mengatakan ingin mengajak ku ke kebun teh, dia juga bilang kalau dirinya mempunyai tugas melukis oleh guru seni di SMP-nya. Pagi hari datang lagi, meski matahari masih tertidur dan bersembunyi di balik bukit. Aku serta Juna sudah siap dengan segala perbekalan kami untuk berlibur disana seharian penuh. Kami masih menanti datangnya mentari di ufuk timur bukit itu. Tak berapa lama lagi semburat kuning sinar mentari pagi yang cerah disertai semilir anginya yang dingin akan terhangatkan kedatangannya.

Akhirnya kami memulai perjalanan yang cukup panjang dari bukit ke bukit sampai dimana kebun teh berada, kami tak akan menyia-nyiakan sinar yang sangat bagus untuk tubuh itu. Karena sinarnya akan membuat setiap tulang-tulang dan sendi-sendi tubuh kita, atau bahkan hewan dan pepohonan pun seperti hidup kembali karena sinarnya.

"Waktu sudah semakin siang, ayo kita percepat langkah kita!" ajakku padanya, sekedar memberi tahu kalau memang ini situasinya sudah terlalu siang untuk mendapatkan suasana yang tepat bagi pelukis memulai aksinya, kabut pun enggan kembali mengusik mata kami cahaya mentari semakin terang benderang.

"Oke! Aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk bermalas-malasan." Dia pun berlari jauh meninggalkanku. Ah.. rasanya ingin mengejarnya tetapi luka tadi malam belum sembuh sempurna. Berlari bebas bagaikan burung, dia merentangkan kedua tangannya dan siap akan terbang mengarungi lautan daun-daun di depan matanya. Aku yang terbiasa terbelenggu dengan keranjang teh tempat ku biasa memetik pucuk daun teh untuk penghasilanku sehari hari. Berhubung tengkulak menetapkan hari ini hari libur, aku bebas lepas hari ini juga.

"Menurutmu apa yang seharusnya aku lukis?" Tanya Juna padaku yang sedang berbaring menikmati pesona dari bawah kebun teh, menatap langit kala pagi menyapa. Dia pun berdiri menjulurkan tangannya ke langit seakan-akan dia akan meraih matahari.

"Oh.. ya itu juga indah" jawabku sambil menunjuk sebuah pohon mangga yang termangu sendirian, ditemani oleh ribuan pohon mungil teh.

"Ehm.. mungkin lebih baik aku melukis kamu saja, buat kenang-kenangan nanti di Jakarta, As?"

"Tidak mau ah! pasti capek, ya kan?"

"Ayolah demi aku! Ini aku buatkan mahkota daun teh untukmu." Aku terkejut ketika aku melihatnya sangat menginginkan aku untuk dilukis. Tapi ada salah satu yang mengganjal.

"Apa? kamu membuatnya dari daun teh?"

"Iya, memangnya kenapa?" Tanya juna tak bersalah.

"Kalau kamu ketahuan kamu pasti dimarahi tengkulak"

"Ahh.. sudahlah..!!" tiba-tiba saja ia menarik ikat rambutku dan mulai menata rambut panjangku yang lurus, sehingga aku tampak seperti putri di dalam film-film. Kemudian dia memakaikan mahkota-nya di kepalaku, aku menjadi sangat istimewa hari itu. Dia melukisku, saat itu aku disuruhnya berdiri di antara jalan setapak kebun teh.

Goresan pelangi pensil warna semakin menggambarkan kalau yang dilukis itu benar-benar mirip aku yang memang saat itu memakai baju colorful penuh warna bak curug pelangi dengan tujuh warnanya.

"Cepat sedikit Jun aku sudah pegal nih!!" aku mengelap keringat yang bercucuran lalu kembali ke posisi semula.

"Iya ini sudah jadi."

"Apa katamu? Jadi dari tadi lukisannya sudah jadi?." tanyaku kesal, sesudah berpose bak putri dengan bunga di tanganku dan mahkota daun teh ini, ada rasa sedikit bangga karena dilukis oleh anak kota yang mengaku hobi melukis ini. Aku pun sempat memuji lukisannya.

"Aku kelihatan sangat cantik di lukisan itu."

"Kamu memang sudah cantik kok!." Celatuknya tersenyum kepadaku, dia memang terlihat sangat istimewa di dalam hidupku kali ini. Episode terindah untukku di dalam sinetron yang disutradarai langsung oleh Tuhan ini.

"Sejak kapan kamu melukis orang?" tanyaku berbasa-basi

"Baru kali ini aku melukis orang, dulu-dulu aku cuma bisa melukis pemandangan dan saat ini aku mencoba untuk belajar melukis manusia dan hasilnya tak mengecewakan, makasih yah?" jawabnya sembari mencubit pipiku yang merah padam ini, ia pun meletakkan lukisannya di atas dedaunan teh yang rindang itu.

"Gurumu pasti bangga padamu." batinku lemah. Kemudian ia menarik tanganku dan mengajakku duduk memakan perbekalan yang telah ia siapkan. Seperti biasa, orang kota selalu membwa roti tawar jikalau mereka bepergian.

"Pagi-pagi begini, enak kali yah kalau kita makan roti bakar? Ayo buatkan untukku Astrid!"

"Lho kok jadi aku? Ini saja nih, aku bawa dodol." elakku dan mencoba menawarkan dodol buatanku dengan beraneka rasa dan warna padanya.

"Ayolah!!" Dia terus merengek dan menyodorkan 7 roti tawar di tangannya. Ketika itu dengan tanpa disadari, seorang pria berperawakan tinggi, besar dan berwibawa seperti bos di suatu perusahaan yang sering kulihat di televisi datang di tengah candaan kami, roti yang dipegang juna jatuhlah, sirop yang berada di dekatnya ikut tumpah, lalu ku bereskan sebelum habis sirop rasa mangga yang ada di dalam botol beling itu.

Melihatnya dari dekat membuatku bimbang, aku pun bertanya pada Juna dengan volume hampir rendah sekali di telinganya,

"Dia itu siapa Jun?." Kepanikanku menjadi-jadi ketika orang tadi mencoba memegang tangan juna dan menariknya berdiri.

"Papa? Ada apa, Pa?"

"Oh.. om, silakan duduk Om! Duduk dulu!" ucapku meraih tangannya tapi segera dilepas-lah jabatan tanganku dari tangan yang semakin kuat menggenggam jari-jari putih milik Juna ini.

"Tidak perlu! Juna ikut papah sekarang! Papah ada perjanjian penting sama bos yang tidak bisa ditunda lagi." Ayah juna semakin mempertegas perilakunya dengan menyuruhnya melangkahkan kakinya, juga menarik tangan kanannya, sehingga dia pun kesakitan karenanya, sejatinya dia tidak mau pergi. Dia terus menggelengkan kepalanya sembari menatapku lekat.

"Tidak, Pa! Aku masih ingin disini." Jawab Juna. Ayahnya semakin terihat sangat marah dengan nada mengancam.

"Oke! kalau kamu tidak mau pulang sama Papa, silakan kamu pulang sendiri!" Bukannya memandang wajah ayahnya, tetapi juna malah seakan meminta pendapatku dan tangan kirinya meraih tanganku. Tetapi aku sempat mengingatkan dia untuk selalu mematuhi perintah orangtua, ayah atau pun ibu.

"Turuti Ayahmu Jun! jangan hiraukan aku. Aku hanya temanmu. Kalau aku punya ayah, aku juga akan seperti itu. Kalau aku punya ayah, aku akan selalu menurut apa kata ayah." Suasana semakin memperburuk keadaan. Juna tidak mau juga diajak ayahnya untuk pulang.

"Aku mau pulang kalau saja Papa mau janji sama Juna." Tangannya masih menggengam kedua tanganku erat seakan tak mau kehilangan aku.

"Apa syaratnya sayang?" katanya melembut.

"Kelak jika aku dewasa nanti aku ingin tinggal disini, besar disini. Mungkin saat ini aku mau menuruti apa kemauan Papa, mengikuti semua omongan Papa, mengikuti kemana pun papa pergi. Tetapi jika besar nanti aku tidak mau jadi anak manja lagi. Aku ingin seperti Astrid, walaupun dia tidak sekolah tetapi dia anak yang mandiri dan sangat peduli terhadap keluarganya berjanjilah untukku, Pa?." Ayahnya mengingat setiap kata-kata yang terlontar dari mulut anak kesayangannya ini. Seraya menggelengkan kepala beliau kembali berkata,

"Rupanya anak Papa sudah besar sekarang, pasti ini gara-gara kamu berteman dengan gadis cantik yang baik ini kan?" aku tersipu malu karena tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan.

"Nama kamu siapa?" Aku melepas genggaman tangan Juna dariku.

"Astrid Om."

"Umur kamu berapa?"

"16 tahun."

"Wah sama dong kayak Juna, 4 tahun lagi ya, Jun?" Ayah Juna mengedipkan sebelah matanya. Tatapan Ayah dan anak itu sama-sama meyakinkan satu sama lain. Tanpa ditarik pun akhirnya Juna mau mengikuti langkah jenjang Ayahnya seraya terus memandangku di belakang, ia pun menuju mobil bermerek Mercedez Benz di seberang jalan tak jauh dari lokasi tadi. Dan ketika Juna akan pergi ia sempat menitip pesan padaku agar menjaga mahkota daun teh yang sudah susah-susah dia buat itu.

Beberapa menit berlalu, seperti ada yang mengganjal perasaanku, tapi apa? Oh iya, lukisan gambar diri itu tertinggal di atas pepohonan teh, aku yang tahu seberapa penting lukisan ini, dan cuma aku yang tahu bagaimana cara mengembalikannya. Tapi apakah akan terkejar, mobil mewah yang telah berlari dengan kecepatan tinggi itu.

Jalan pintas, ya! Aku punya jalan pintas melewati lorong-lorong juga jalan setapak yang dipunyai kebun teh ini.

Kutapakkan langkah kaki yang sebenarnya kelelahan ini. Tapi tak kulihat mobil sedan Mercedez Benz warna hitam itu? Berlari dan terus berlari dengan sisa nafas terengah-engah. Di ketika sudut puncak kelelahanku akhirnya aku menemukan seberkas sinar cahaya lampu mobil itu, aku semakin bersemangat saja. Aku pun menuruni bukit terjal itu, walaupun pada akhirnya aku terjatuh tapi aku enggan mengotori lukisan itu, kujaga dalam dekapanku selalu. Padahal hanya beberapa meter lagi sebuah batu kecil membuatku terpeleset lalu aku menjerit,

"Juna ini lukisan kamuuu...". Tak lama kemudian mobil Juna berhenti hingga Juna berlari menemuiku yang ada di belakang mobilnya beberapa meter saja.

"Terima kasih As. Oh iya! Mahkota itu jangan sampai hilang ya? Jaga dia baik baik! Biarpun layu jangan pernah kamu membuangnya okeh?" tangannya meraih luisan itu lembut membelai kulitku, ia memberikan kiss bye dan seulas senyum yang mempesonaku, tak tahu makna di balik semua itu terlalu dini untukku mengerti, tapi senyuman itu akan selalu kuingat Jun, aku juga berjanji akan menjaga mahkota itu, bahkan sampai layu sekalipun, sampai daunnya yang hijau menjadi coklat dan mungkin saja tinggal lilitan ranting yang tersisa aku pastikan ranting itu akan tetap ada bagai fosil dinosaurus yang diletakkan di dalam kaca.

"Juna jaga lukisan itu juga yah!!!" sahutku berteriak kembali. Dia pun mengangguk lewat kaca belakang mobilnya sembari tersenyum menyodorkan lukisannya.

Bertahun-tahun mahkota dari daun teh itu kusimpan dalam tabung kaca, biar pun warnanya tak sehijau dulu atau agak kecoklatan, tetapi jangan kamu khawatir! Aku selalu merasakan baunya tiap kali kudekatkan dengan hidungku dan itu masih seharum dulu Jun, seharum cintaku padamu yang selama ini kupendam dalam hati.

Komentar