Aku memaksakan senyum dan memasang wajah ceriaku. Sebenarnya jauh di dalam lubuk hatiku, aku merasa benci dengan kepura-puraan ini. Aku benci jika harus mengucapkan sayang di hadapannya. Aku benci berpura-pura memberikan perhatianku kepadanya. Hatiku miris melakukan semua itu. Hatiku terasa sangat sakit dan pedih melakukannya.
Kuterima pipinya saat ia mencium kedua pipiku dengan enggan. Aku menatapnya dengan senyum termanisku, dan banyak mengumpat di hatiku. Aku tertawa saat ia berbicara, hanya untuk membuatnya senang. Aku mendengarkan saat ia bercerita tentang bermacam-macam kegiatannya. Dan sekali lagi, hatiku kembali miris saat melihatnya bahagia berada di sampingku, sedangkan aku merasa sedih bersamanya.
Sudah dua bulan aku hidup dengan kepura-puraanku. Sudah dua bulan aku berpura-pura mencintainya, berpura-pura memberikan kasih sayangku yang hanya setengah hati saja, berpura-pura bahagia namun hatiku miris.
Aku ingat hari itu. Hari di mana ia mengatakan cintanya kepadaku. Aku memandangnya penuh kebimbangan. Mungkinkah aku benar mengambil keputusan untuk menerima cintanya? Sementara hatiku tak secuil pun mempunyai perasaan cinta untuknya. Sebenarnya mudah aku menolak cintanya. Tapi aku tak tega melihatnya sedih.
Satu tahun waktu yang lama untuk sebuah penantian. Satu tahun telah cukup membuktikan betapa besar kesetiaannya. Dan satu tahun telah menghilangkan perasaanku padanya.
Satu tahun lalu aku diperkenalkan dengannya oleh sahabatku. Awalnya aku senang juga, karena ia mendekatiku. Ia pun menyatakan cinta padaku. Tapi saat itu, aku memintanya untuk menungguku sampai aku lulus SMA. Aku senang ia mau melakukannya. Namun belakangan aku tahu, kalau dia lebih dulu menyukai sahabatku. Tapi karena sahabatku telah memiliki pacar, maka dia beralih mendekatiku. Rasa kecewa menyelimuti hatiku. Aku marah padanya juga pada sahabatku. Emangnya, apa aku ini? Barang cadangan yang bisa dipakai setelah barang utama tak berguna lagi? Dengan cepat, perasaan kagum dan suka padanya menghilang. Menguap seiring panasnya amarahku.
Lama tak mendengar kabar darinya. Kukira ia telah melupakan aku. Sampai satu tahun kemudian ia datang padaku dan menanyakan kesediaanku untuk menjadi pacarnya. Pertanyaannya bagaikan penagihan janji yang harus aku tepati. Janji satu tahun lalu. Janji yang kini menyisakan kebencian di relung hatiku. Dan aku harus menepati janji itu. Aku pun menerima cintanya dengan setengah hati, tanpa kerelaan sedikitpun di hati.
Semalam aku berpikir, mungkinkah sudah saatnya aku lepas dari kepura-puraan ini. Pergi dari dirinya yang selalu menjeratku ke dalam penjara cintanya. Meski akan membuatnya terluka?
Aku tak peduli! Untuk apa aku terus mempertahankan kebahagiannya sedangkan ia tak peduli dengan kebahagiaanku, dengan perasaan hatiku. Ia bahkan tak pernah sesekali bertanya padaku, apakah aku bahagia dengannya? Apalagi memikirkan perasaanku.
Setiap kali ia rindu dan ingin bertemu denganku, ia selalu memintaku untuk menemuinya dan aku selalu menemuinya. Sedangkan ia selalu meminta sesuatu dariku tanpa peduli bagaimana perasaanku. Pelukan, ciuman, selalu ia minta. Tapi ia terus menganggap aku boneka, yang bisa ia mainkan bila ia suka. Andai saja aku tak punya rasa belas kasihan, mungkin sudah aku tendang ia jauh-jauh. Tapi aku selalu merasa kasihan padanya, dan rasa kasihan itu yang membuatku tak tega untuk melepasnya. Membiarkannya menjadikanku boneka kesayangannya yang ia mainkan sesuka hatinya.
"Yang, aku pengin malam minggu nanti kita pergi jalan-jalan, yuk?"
Pintanya padaku. Dan kata-kata itu sudah sering ia lontarkan padaku sampai aku hapal dengan permintaannya setiap kali ia minta ketemu. Aku cuma mengangguk pasrah sambil berkata, "Terserah kamu saja, yang penting kamu bahagia." Dan jawaban itu yang selalu terlontar dari mulutku. Dan ekspresi wajah gembira yang kulihat darinya. Wajah penuh bahagia itu bagai wajah menakutkan bagiku. Seperti binatang buas yang siap memangsaku dengan ganasnya seolah tidak makan selama satu minggu.
Tangannya mulai menyentuh tanganku dan membawanya kepangkuannya, meremas-remasnya seolah tanganku itu sebuah kain. Dan selanjutnya ia akan memandangku dengan lekat, matanya seperti menyampaikan keinginannya untuk mencium bibirku. Dan aku tahu apa yang harus aku lakukan, menghindar dari tatapannya dan selalu waspada akan sikapnya yang tiba-tiba. Berusaha menghindarinya untuk menciumku. Selama ini, ia hanya berhasil memelukku tapi tidak dengan menciumku. Aku selalu berhasil menghindarinya. Dan setiap kali ia akan melakukannya, jantungku selalu berdegup kencang, terbesit ketakutan akan dirinya yang menciumku. Dan aku selalu siap-siap mengepalkan tinjuku jika ia mulai menciumku.
Aku senang mendengar suaranya yang lembut dan renyah saat mendengarnya di telepon, seraya aku ingin memeluknya. Tapi begitu melihatnya, tumbuh perasaan benci dan muak, bergemuruh hebat di hatiku.
Di sanalah kebimbanganku muncul. Apakah aku mencintainya atau membencinya? Dan pertanyaan itu tak pernah terjawab olehku.
Aku bingung dengan diriku sendiri. Begitukah caraku mencintai seseorang? Atau aku takut tidak memiliki seseorang yang selalu memperhatikan aku?
Begitu banyak pertanyaan yang muncul di hatiku. Namun tak pernah satu pun yang terjawab. Jika cinta itu mudah, mengapa sulit aku merasakan dan menjalaninya? Munginkah dia jalanku untuk bisa bertemu dengannya, bertemu dengan cinta pertamaku?
-
Aku merasa sendirian. Aku merasa kesepian. Terasa gamang. Terasa bimbang. Terasa seolah aku hidup tanpa arti.
Kutatap gerimis di luar jendela, kubuang pandangannku ke arah luar. Menikmati setiap tetesan titik-titik hujan yang berjatuhan. Seperti irama yang bersenandung merdu seperti Dewi hujan yang tengah bernyanyi untuk sang kekasihnya, yakni awan. Mencoba menghadirkan ujung pelangi yang indah di tengah-tengah awan yang telah kembali cerah.
Aku tersenyum kecut saat kudengar suara ringtone yang bergetar memanggilku. Kulihat di layar ponsel tertera satu nama yang ku benci, Andrew. Dengan enggan kupencet tombol ponsel dan saluran pun terhubung.
"Halo, Yank. Lagi ngapain nih?" suara lembutnya mampu melemahkan diriku sesaat, namun terbesit kebencian di hatiku.
"Lagi nyante. Ada apa?" tanyaku selalu dengan suara datar.
"Ooh lagi nyante. Kirain lagi sibuk. Emmmmm..." terdengar nafas panjang dari seberang. Dan aku tahu apa yang akan terjadi di detik berikutnya. Ia pasti akan memintaku untuk bertemu dengannya.
"Yank, aku kangen sama kamu... bisa tidak kita ketemu?"
"Baiklah."
Langsung kuputuskan hubungan telepon begitu menjawab permintaannya. Pandanganku kembali kubuang ke luar jendela, di mana titik hujan mulai mereda namun masih menyisakan keindahan bagiku.
Andai aku bisa menolak permintaannya, mungkin aku tak akan sesakit ini. Mungkinkah aku terlalu bodoh hingga mudah dipermainkan cinta? Atau aku terlalu lemah untuk bisa mengatakan tidak? Ataukah aku terlalu buta untuk bisa melihat kenyataan cinta yang tengah memanfaatkanku?
Kupalingkan pandanganku dari titik-titik hujan dan melangkahkan kakiku menuju lemari pakaian untuk bersiap-siap menuju kafe.
-
Aku mengernyitkan mataku sebentar, melihat sosok Andrew yang tengah duduk manis di kursinya. Aku melangkah lemah menuju mejanya, berharap teleponnya berbunyi dan memintanya untuk pergi sekarang. Namun hanya hening. Tak terdengar suara ringtone ponsel miliknya. Aku pun berjalan mendekatinya tanpa semangat sedikitpun.
Andrew langsung berdiri dari duduknya begitu melihatku datang dan menyosor pipiku dengan ciumannya, yang kurasa seperti perasaan jijik. Aku tersenyum kecut melihat kebiasaannya. Aku langsung duduk di hadapannya dan mataku terbelalak melihat segelas jus strawberry yang paling kubenci.
Ternyata ia sudah memesankan minuman untukku dan tanpa tanya dulu apakah aku menyukainya atau tidak! Batinku mengumpat. Aku memandang wajahnya dengan seribu pertanyaanku.
"Yank, kamu mau nggak..." Kata-katanya terhenti. Wajahnya berpura-pura terlihat cemas. Rasanya aku ingin membentaknya untuk menyuruhnya tidak menampilkan wajah kepura-puraannya yang cemas itu. Aku masih diam. Menunggu kata-kata berikutnya.
"Yank..." Tangannya meraih kedua tanganku dan membawanya ke hadapannya sambil meremas-remasnya. "Apa kamu sayang sama aku?"
Pertanyaan bodoh yang tak harus aku jawab. Bukankah selama ini aku sudah menunjukkan keenggananku padanya. Apa ia berpura-pura tidak melihatnya, dan melihatnya sebagai sebuah persoalan biasa dalam suatu hubungan yang harus cepat-cepat diselesaikan? Aku masih diam dengan keenggananku.
"Emmm... kamu mau nggak membuktikan cintamu sama aku?"
'Untuk apa aku membuktikan cintaku padamu yang tak pernah ada di hatiku?' Batinku.
Aku melihat senyumnya, senyum yang entah apa artinya itu. Senyum yang menurutku mengandung arti yang tidak baik.
"Kamu mau kita pergi ke mana?"
"Pergi kemana lagi?" Tanyaku dengan suara yang sedikit tidak meng-enak-kan.
"Jalan-jalan." Sahutnya datar.
Aku bangkit dari duduk dan mengikuti langkahnya yang entah mau ke mana itu.
Setengah jam kemudian kami duduk-duduk di taman. Seperti biasa ia selalu merangkulku dengan perasaan yang tak kumengerti.
Pandanganku menatap lurus. Menyapu semua rumput yang ada. Sedangkan ia memandangku dengan menilikku dari ujung jari sampai ujung rambut. Entah apa yang akan dilakukannya.
"Yank. Kalo seandainya aku suka sama cewek lain selain kamu, gimana?"
'Aku senang! Senang banget. Karena aku bisa lepas dari dirimu. Dan itu yang aku inginkan. Kau punya cewek lagi dan memberikanku alasanku untuk bisa memutuskanmu.'
Aku menoleh dengan pelan dan menatapnya dengan polos.
"Kalo itu bisa membuatmu bahagia, kenapa tidak?" Ucapku pelan dan kembali membuang pandangan ke depan. Kurasakan tangannya terlepas dari pundakku. Seperti ada kelegaan yang sekian lama aku nantikan, setelah seperti ada sesuatu yang mencekat nafasku.
"Apa kamu tidak bahagia berpacaran denganku?" suaranya serak seperti menahan rasa sakit yang menyerang ulu hatinya.
Seketika aku menoleh dan menatap pemilik suara yang terdengar sedih itu. Seperti ada batu logam yang menghunjami hatiku bertubi-tubi. Membuatku sesak bernafas. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" Suaraku bergetar. Dan menatap was-was pada sosok di hadapanku.
"Tidak. Mungkin ini cuma perasaanku saja. Seharusnya dari awal aku sudah mengetahuinya. Apabila seorang kekasihnya akan memiliki firasat seperti indera keenam, jika kekasihnya telah berselingkuh dan menghianatinya." Ia menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.
Aku masih diam. Menunggu kata-kata selanjutnya.
Ia menoleh dan menatapku dengan senyumnya yang kurasa paling manis selama aku bersamanya.
"Maaf. Ini harus terjadi. Awalnya aku cuma ingin main-main, tapi semakin aku mengingkarinya, hatiku semakin membenarkannya, bahwa aku benar. Meski aku ikut merasakan sakit saat mengingatmu. Tapi aku tak bisa bila aku harus menyakitimu terus menerus dengan keegoisanku. Dan aku merasa aku ini adalah manusia yang paling berdosa, yang dengan sengaja telah menduakan cintamu."
Hening. Tak ada suara. Kami diam. Tak berani menatap satu sama lain. Membuat hati yang paling dalam menangis.
"Jadi kamu menyukai gadis lain dan menduakan aku? Berarti selama ini kamu telah berbohong padaku!" ucapku dan memberanikan diri untuk menatapnya. Namun kecewa yang kudapatkan. Ia tak berani mengangkat kepalanya sedikitpun untuk membalas tatapanku.
"Maaf. Maafkan aku." suaranya lemah ketakutan.
"Jika kamu lebih memilihnya," aku diam sesaat untuk mengatur denyut jantung dan nafasku yang mulai tak beraturan, "Maka lupakan aku."
Itu kata yang tepat untuk salam perpisahan dari sebuah hubungan yang telah ternoda oleh kebohongan, kepura-puraan dan penghianatan.
Aku bangkit dan berjalan menjauhinya dengan gontai sambil menahan air mataku untuk tidak keluar. Aku pergi dan meninggalkannya dengan perasaan kecewa dengan sikapnya yang tak menghentikanku untuk meminta maaf padaku.
Kini aku baru merasakan bagaimana sakitnya dikhianati oleh sang kekasih, walaupun tidak aku cintai sekalipun. Terasa menyakitkan dan meyesakkan nafasku. Kini aku melangkah dengan tidak menampakkan kepura-puraanku lagi. Kini aku bebas dengan perasaan senangku. Kini aku tersenyum di atas kedua kakiku kembali.
"Mia!" terdengar suara memanggilku. Kutolehkan kepalaku ke kanan. Jantungku berdegup kencang seketika. Bumi seolah berhenti berputar. Waktu pun diam tak bergerak. Mataku terasa panas dan hampir merembes keluar air mataku.
"Astaga! Ternyata benar, itu kau. Kukira aku salah lihat. Ternyata tidak." Ia melangkah mendekatiku.
Senyum tersungging di pipiku, di antara lesung pipitku. Dan hatiku terasa bahagia mendapati dirinya di hadapanku. Mario, cowok yang selama delapan tahun ini mengisi hatiku. Cowok yang selama delapan tahun ini terus membayangiku di setiap tidur malamku. Cinta pertamaku semenjak di bangku kelas satu SMP.
Komentar
Posting Komentar